Breaking News

Malam Pinangan

Malam Pinangan

Aku ingin menanami hamparan sawah yang memanjang di hatimu
dengan padi-padi yang tumbuh dari gairah jiwaku
lalu kualiri dengan sungai yang memancar di lubuk rindu
dengarlah seruling cinta itu, mengalun sampai ke padang-padang
beriring kasidah panjang di keremangan petang

Aku ingin melingkarkan sebait puisi di jemarimu
sampai embun pagi memutih
menghapus kesunyian kita sepanjang pematang
saat mengeja nama anak-anak yang tertulis di setiap bulir padi
hingga menguning dan berwarna gading

Semalam, aku menunggu bukit-bukit meluruhkan bunganya
sebab di rambutmu yang gambut ingin kusemai doa-doa
agar matamu memancarkan cahaya seperti bintang-bintang
saat pelangi melukis warna warni rumah kita
ketika aku menerjemahkan isyarat angin menjadi bahasa cinta

Lihatlah, menjelang malam tuhan mengirimi bulan
hingga puisi yang lekat di jemarimu berkilauan
kunang-kunang pun menabuh reranting menjadi irama merdu
burung-burung kemudian memahat kesetiaan
dengan paruhnya yang meruncing karena rindu

Tiba di dermaga, ayah ibu kita, pasangan kekasih tua itu
memberi sebuah sampan yang ditatahnya dari batu karang
sebab laut akan mengiringi, dengan gelombang surut dan pasang
sampai waktu membuktikan setiap makna
dari kata-kata yang kita kayuh berdua

2008





Riwayat Kota

Sebuah kota yang kau ceritakan kepadaku tiba-tiba menjadi hantu
sebab sebuah rindu pernah menyatu dengan debu-debu
yang menampar kita, saat belajar bercumbu dengan waktu
kemudian kerikil itu membiak di tubuhmu, menjadi sebuah arca
yang menyeringai setiap musim hujan tiba

Kau tahu, kota itu pernah merasakan hampa
hingga pedagang kali lima yang bermukin sepanjang kanal
mengutuki malam yang semakin binal
sebab desis ular di setiap trotoar seperti bisikan cinta
dalam bahasa paling rahasia

Mungkin saat ini arca di tubuhmu telah berdiri angkuh
di setiap persimpangan sambil mengacungkan kapak
yang dulu hampir membunuhku, saat mendekapmu
dalam sebuah keriuhan pasar malam
yang dipenuhi para demonstran

Dalam sesobek surat kabar, aku membingkai kota itu
agar selalu menjadi hantu di setiap malamku
sebab aku selalu merindukan irama desah nafasmu
yang menggebu bersama deru kereta subuh
tempat kita dulu saling berbagi peluh

2008





Riwayat Cinta

Setiap kali mengamati sisa airmata di pipimu
aku seperti menyelami sebuah danau yang hijau
karena aku ikan yang merayap di celah rerumputan
sambil meniupkan gelembung-gelembung ke permukaan
karena kau seekor bangau yang menunggu

Hingga rintik gerimis memaksaku menjadi nelayan
yang termenung di atas sampan
melemparkan jala ke setiap penjuru
sambil berharap tersangkut di reranting perdu
karena kau setangkai bunga yang bisu

Dengan luka yang sama, kumaknai isyarat angin
sampai burung-burung yang bersarang di kepalaku
mengabarkan para peri mandi di danau
aku ingin mencuri pelangi yang melilit tubuhmu
sampai lanskap senja membentuk silhuet merah jambu

Akhirnya, buah kuldi yang kau lempar selepas malam
menancap di leherku. hingga suaraku terdengar parau
untuk sekadar mengucap sebuah kalimat cinta
sebab kau ingin aku kembali menjadi ikan
yang merenangi setiap danau di tubuhmu

2008




Riwayat Badai

Kau selalu datang setiap tengah malam
sambil meneriakkan petir yang sama
hingga kapuk-kapuk beterbangan
mengitari langit-langit penuh jelaga
dari lelampu yang membakar separuh mimpi

Segelas wine, katrin
mungkin akan menenangkan tubuhmu
yang selalu menggelinjang setiap selesai bercumbu
karena hembusan nafasmu begitu dingin
membekukan ranjang dan dinding kamar

Secangkir moka, rita
mungkin kau terlalu mabuk dengan vodka
dan sebatang candu yang menemani malammu
dalam keriuhan kota yang binal
hingga suara gaduh itu serupa karnaval

Tiba-tiba kau datang, dengan bisikan sendu
sambil memamerkan puting beliung yang berpusar di tubuhmu
kalimat cinta itu, kemudian menjadi beracun
sebab aku lupa bertanya:
di dalam angin ada kelembutan?

2008




Rahasia Hutan

Aku semakin terperangkap dalam aromamu
yang berguguran di musim kemarau
terjerembab di mulut anggau, perut begu
membunuh purnama di semak-semak
yang terserak

Di bukit kering aku mulai menandai
masa kecil yang hijau, serupa daun-daun
dan onak melilit tubuhku dengan hangat
sepanjang siang. sampai raungan gergaji
meninabobokan semua orang

Angin tiba-tiba meniupkan luka
yang bersarang di pucuk pepohonan
menyimpan dendam dan nujuman
di rawa-rawa, gubuk-gubuk renta, hingga jalan setapak
menuju muara tempat menghanyutkan semua balak

Anyir masa lalu menjelma kabut
setiap pergantian musim membakar almanak
serupa tungku tua di tanah lapang, memanggang
semua nasib dan impian. hingga membumbung tinggi
menjauh, jauh sekali...

2007




Lanskap Pulang

Di balik reruntuhan rambutmu yang gambut, kutemukan kunang-kunang
berpijaran sepanjang jalan menuju teluk dan pantai
menebarkan warna-warna siluet musim semi
kau menjadi ikan dan aku terumbu yang payau di semenanjung
mengharapkan pijar cahaya dari bintang-bintang gemulai
di celah langit paling sunyi

Lalu matamu lelampu bagi kakiku, yang menapaki jalan kampung
sampai langkah terakhir terasa begitu bercahaya
di antara ruko, gardu jaga dan warung-warung kaki lima
tempat kita dulu memainkan kompang di keremangan purnama
memaknai luka yang menganga

Kenapa ada cahaya di kotamu?
sampai bintang mencemburui setiap malam, setiap kita belajar mengeja silsilah kampung halaman yang bermutasi menjadi mesin-mesin industri
menggerakkan tubuhmu dengan kabel-kabel tembaga
dan sorot matamu, menjadi warna-warni tanpa jelaga

Tiba-tiba aku selalu ingin pulang
karena aromamu mewangikan hutan batu di pulau-pulau
tempat kita dulu membakar api unggun, menghangatkan musim pasang
saat bunyi kapal membuat kita selalu ingin meninggalkan kampung halaman

2007


No comments