Kedaulatan Pangan, Kedaulatan Bangsa
(Catatan
Hari Pangan Sedunia 2009)
Oleh M Badri
Tanggal 16 Oktober 1945 yang merupakan hari berdirinya Food and Agriculture Organization (FAO), ditetapkan sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS). Penetapan 16 Oktober sebagai HPS bermula dari konferensi ke-20 FAO pada November 1976 di Roma dengan mengeluarkan Resolusi Nomor 179 mengenai World Food Day. Resolusi disepakati 147 negara anggota, termasuk Indonesia. Tujuan peringatan HPS adalah meningkatkan kesadaran dan perhatian masyarakat internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan baik di tingkat global, regional, maupun nasional.
HPS yang diperingati setiap tahun ini memancing tumbuhnya kesadaran terhadap pengelolaan potensi sumber daya alam serta tantangannya untuk mewujudkan ketahanan pangan. Sehingga menyiratkan pesan sumber daya alam harus diolah untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat agar terhindar dari krisis pangan. Termasuk pengembangan, pengolahan dan pemasaran sumber pangan lokal untuk ketahanan pangan daerah.
Harus diakui, ketahanan pangan nasional saat ini memang masih jauh dari harapan. Hal tersebut tercermin dari belum lepasnya Indonesia dari ketergantungan impor komoditas pangan. Meskipun untuk komoditas tertentu seperti beras, pemerintah mengaku sudah surplus. Tapi banyak kalangan menilai, masih belum aman untuk menjamin ketahanan pangan Indonesia.
Mengutip pernyataan mantan Presiden RI Soekarno, hidup matinya suatu bangsa ditentukan oleh ketahanan pangan negara, posisi ini adalah ironi yang sangat mengkhawatirkan. Sebab apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka akan menjadi malapetaka. Karena itulah untuk menjamin kemakmuran rakyat, sebuah negara harus memantapkan kedaulatan pangannya.
Kedaulatan pangan merupakan suatu hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Di sini yang perlu ditekankan, kedaulatan pangan adalah prasyarat dari sebuah ketahanan pangan. Tapi realitasnya, saat ini Indonesia belum sepenuhnya mampu mengakses dan mengontrol aneka sumberdaya produktif, serta menentukan dan mengendalikan sistem produksi, distribusi dan konsumsi pangan sendiri. Padahal penguasaan produksi, distribusi dan konsumsi pangan nasional merupakan kunci dari kedaulatan pangan.
Bila mengacu pada pendapat Soekarno di atas, maka kedaulatan pangan mencerminkan kedaulatan bangsa. Di sini dapat diartikan, negara yang lemah ketahanan pangannya mudah dikendalikan oleh negara lain. Sejarah membuktikan ancaman embargo pangan dapat menghancurkan kedaulatan suatu negara, seperti runtuhnya Uni Soviet akibat embargo pangan NATO yang dimotori Amerika Serikat. Meski berdaya dalam ekonomi dan militer, bila pangan masih tergantung impor maka suatu negara bisa dimasukkan ke dalam kelompok rentan.
Terus melambungnya harga pangan dunia seharusnya menjadi cambuk bagi kita untuk membangun kedaulatan pangan nasional. Mengutip pernyataan Dahuri (2008), Bank Dunia memprediksi tingginya harga bahan pangan bakal berlangsung lama dan baru menurun pada 2015. Direktur IMF Dominique Strauss-Kahn bahkan mengkhawatirkan krisis pangan ini bisa memicu perang di mana-mana. Empat faktor utama ditengarai menjadi biang keladi dari krisis pangan global.
Pertama, stok pangan dunia cenderung menurun sejak dekade terakhir, kebutuhannya terus membubung seiring dengan pertambahan jumlah penduduk. Kedua, perubahan iklim global yang menjungkirbalikkan target produksi pangan. Ketiga, penggunaan bahan pangan terutama jagung, kedelai, CPO, dan gandum untuk memproduksi biofuel secara masif. Keempat, ulah para spekulan yang kerap menimbun dan menaikkan harga pangan.
Riau Rice sebagai Origin Point
Di era otonomi daerah, untuk membangun ketahanan pangan bisa dimulai dari daerah. Bila merujuk pada “Art of War”-nya Sun Tzu, daerah sebenarnya mempunyai kekuatan besar untuk menciptakan ketahanan pangan nasional. Sebab potensi pangan nasional sejatinya tersebar di daerah-daerah. Desentralisasi kemudian memberi kewenangan kepada daerah untuk menggerakkan potensinya masing-masing, sesuai dengan kearifan lokal yang berakar di masyarakat. Sebut saja Gorontalo yang terkenal dengan komoditas jagung, serta Papua yang memiliki potensi sagu terbesar di dunia.
Provinsi Riau sendiri dalam mewujudkan ketahanan pangan daerah, sejak Mei 2008 lalu mempunyai beras Riau Rice yang diproduksi PT Riau Multi Trade (RMT), anak perusahaan BUMD Riau Investment Corporation (RIC). Munculnya Riau Rice di tengah ketergantungan Riau terhadap pasokan beras “impor” dari daerah lain, dapat disebut sebagai origin poin (titik awal) menuju ketahanan pangan daerah.
Sebab selama ini beberapa kabupaten di Riau seperti Rokan Hilir, Rokan Hulu, Bengkalis, Indragiri Hilir, Siak, dan lainnya mempunyai potensi lahan padi yang cukup luas. Namun kenyataanya, beras tersebut selama ini dikuasai tengkulak dari daerah lain yang juga berperan sebagai pemberi pinjaman modal. Sehingga mereka kemudian menguasai harga. Akibatnya kesejahteraan petani tergantung mekanisme pasar yang dikendalikan pedagang. Ironisnya beras tersebut kemudian dijual lagi ke Riau. Kondisi inilah salah satu penyebab kurang dikenalnya produksi padi Riau.
Untuk menciptakan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani, model yang ideal adalah dengan konsep pemberdayaan. Sebagai contoh pemberdayaan petani di Kecamatan Bungaraya, Siak, sebagai penyuplai gabah untuk memproduksi Riau Rice yang dilakukan oleh RMT. Melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), petani akan mendapat pinjaman modal uang dan sarana produksi yang kerja samanya melibatkan perbankan. Tahap awal ada 330 petani dengan pinjaman masing-masing Rp 3 juta untuk 1 hektare lahan (Riau Pos, 9 Oktober 2009).
Namun itu saja tidak cukup, perlu skenario besar yang melibatkan pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan. Sebab dalam Arah Kebijakan Pangan dan Pertanian 2005-2025 (UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025), juga diamanatkan sistem ketahanan pangan diarahkan untuk menjaga ketahanan dan kemandirian pangan nasional, dengan mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumahtangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam yang sesuai dengan keragaman lokal.
Untuk menggali potensi pangan yang beragam di Riau, tentunya tidak bisa hanya mengandalkan beras. Namun perlu juga menginventarisir potensi pangan pokok non beras misalnya sagu, jagung dan umbi-umbian. Selain itu juga mengembangkan subsektor lainnya seperti perikanan dan peternakan. Sehingga ketahanan pangan menjadi sebuah konsep integratif untuk mencapai destination point, memenuhi kebutuhan seluruh bahan pangan dari hasil produksi sendiri. (*)
Dimuat di Riau Pos, 15 Oktober 2009
No comments
Post a Comment