Mengintip “Surga Wisata” Pulau Rupat
Tim Ekspedisi Pulau Rupat pada Sabtu (2/1/2010), berusaha menggali potensi
pariwisata di kawasan Rupat Utara. Sebab kawasan tersebut selama ini
digembar-gemborkan akan dijadikan resort dengan berbagai fasilitas
seperti cottage, sarana wisata bahari, wisata pantai dan sebagainya. Namun ketika
tim sampai di sana, tak ada satu pun fasilitas pendukung pariwisata yang
tersedia.
Pantai yang membentang di Rupat Utara disebut juga Pantai Pasir Panjang,
karena bentuknya memanjang sekitar 13 kilometer. Pantai tersebut masuk wilayah
Teluk Rhu dan Tanjung Punak. Kemudian sampai ke Desa Sungai Cingam yang masuk
wilayah Rupat bagian selatan. Kalau sampai ke ujung Selat Morong, kata penduduk
setempat, panjangnya mencapai 28 kilometer. Namun terputus oleh sungai-sungai
kecil.
Untuk menuju pantai ini sebenarnya tidak begitu sulit. Dari Dumai ada speedboat
jurusan Tanjung Medang, ibukota Kecamatan Rupat Utara. Dermaganya di Pelabuhan
Rakyat (Pelra) Jalan Budi Kemuliaan, Dumai. Dalam sehari ada dua trip, yakni
pukul 09.00 dan 15.00 WIB. Ongkosnya Rp 110 ribu dengan waktu tempuh sekitar
2,5 jam. Speedboat ini sebelum sampai di pelabuhan Tanjung Medang
singgah dulu di pelabuhan Desa Titi Akar.
Setelah bertolak dari Titi Akar menuju Tanjung Medang, perlahan-lahan
potensi wisata Pulau Rupat mulai terlihat. Pertama adalah Pulau Babi, pulau
tanpa penghuni yang menyimpan cerita menakutkan. Konon pulau tersebut dulunya
merupakan tempat pembantaian anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia
(PKI).
”Katanya pulau itu tempat pembuangan orang-orang PKI dari berbagai daerah.
Tak ada penghuninya, mungkin tak ada yang berani,” kata Rafik, seorang guru di Teluk
Rhu, Tanjung Medang, saat berbicang dengan kami di dalam speedboat.
Saat speedboat melintasi pulau itu dari jarak beberapa ratus meter, terlihat
pasir putih menghampar di salah satu sisinya. Dari jauh, keindahannya seakan
menutupi cerita seram yang menyertai keberadaan pulau itu.
”Tidak tahu kenapa disebut Pulau Babi. Tapi katanya dari atas bentuknya
terlihat seperti babi,” kata penumpang
lainnya.
Tak jauh dari Pulau Babi, terlihat ada pulau sangat kecil yang juga dikelilingi
pasir putih. Bahkan karena laut sedang surut, dari jauh terlihat pulau itu
sebenarnya menyatu dengan Pulau Babi. ”Yang kecil tu namanya Pulau Beting Aceh.
Kata yang pernah ke sana memang pasir putihnya sangat bagus dan landai,” Rafik kembali
memberi penjelasan.
Tak lama kemudian terlihat pulau lainnya, yakni Pulau Beruk. ”Tapi ada juga
yang menyebut Pulau Pak Haji,” kata Rafik. Tak berapa lama setelah itu, kapal
melewati sungai menuju pelabuhan Tanjung Medang. Dari pelabuhan menuju pantai
terdekat, Teluk Rhu, bisa ditempuh dengan sepeda motor selama 20 menit.
Tim ekspedisi tiba di Teluk Rhu sekitar pukul 14.00 WIB, saat itu air
sedang surut. Terlihat hamparan pasir putih memanjang nyaris tak terlihat ujung
pangkalnya. Saat surut hamparan pasir yang terlihat landai lebarnya mencapai 50-an
meter. Pasirnya putih dan padat. Bahkan pemuda setempat biasa menggunakannya
untuk balapan sepeda motor.
Di Teluk Rhu, ujung pantai ini ditandai dengan adanya menara suar. Namun
sepanjang beberapa ratus meter dari menara, lanskap pantai tak lagi alami. Pemerintah
sudah membangun turap beton dilapisi pecahan batu alam untuk menangkis ombak
dan mengurangi abrasi. ”Kalau tidak dibangun turap, rumah-rumah kami bisa
tenggelam dimakan ombak,” kata penduduk setempat.
Namun pantai lainnya masih terlihat alami. Batas antara kawasan laut dan darat terlihat jelas, hanya dibatasi pasir
dan rerumputan. Pepohonan kelapa yang berdiri kokoh di antaranya melengkapi
keindahan pantai, yang disebut-sebut lebih indah dari pantai di Pulau Bali. Sisa-sisa
air pasang terlihat dari sampah-sampah kayu yang tertinggal di bibir pantai.
Beberapa kapal nelayan terlihat ditambatkan.
Kalau air laut sedang surut, dari Teluk Rhu sampai ujung pantai yang ada di
Tanjung Punak dapat dilewati sepeda motor. Namun saat kami hendak menyusurinya, cuaca tidak bersahabat. Hujan
berkali-kali turun hingga pukul 17.00 WIB. Air pun kemudian pasang dan
perjalanan dilanjutkan melalui darat.
Tentang rencana pembangunan kawasan wisata yang tak juga terealisasi,
masyarakat punya cerita sendiri. Masyarakat umumnya berpendapat pemerintah
belum serius menanganinya. Padahal beberapa penduduk yang kami temui sepakat mendukung program tersebut.
Menurut Idrus (70), warga Desa Teluk Rhu, sebenarnya keberadaan pantai
tersebut sudah diketahui banyak orang. Hal ini terlihat dari banyaknya
pengunjung pada waktu-waktu tertentu. Seperti saat tahun baru, libur nasional,
dan paling ramai pada Rabu terakhir di Bulan Safar yang biasa disebut Mandi
Safar. Kalau dilihat di kalender 2010, Mandi Safar jatuh pada tanggal 10 Februari
2010.
Pada momen seperti itu, kata Indrus, kawasan pantai akan dipadati oleh pengunjung.
Namun umumnya datang dari Pulau Rupat itu sendiri.
Selebihnya dari Dumai, Bengkalis dan daerah lainnya. Kalau turis asing ia belum
pernah melihatnya.
“Kebanyakan memang dari Pulau Rupat, ada juga yang dari Dumai dan daerah lainnya.
Tapi selama ini kami memang belum pernah lihat ada orang asing. Kalaupun ada paling
orang-orang Cina, itu pun memang asal dan tinggalnya di Pulau Rupat juga,”
imbuhnya.
Sedangkan pada hari-hari biasa, pantai tersebut kelihatan kosong. Paling
yang datang hanya masyarakat sekitar, yang bekerja baik sebagai nelayan maupun
pencari pasir di pantai. Kadang juga ada anak-anak sekolah yang hobi mandi di
pantai.
Saat kami di sana, pengunjung yang
terlihat hanyalah pemuda setempat yang bermain balapan sepeda motor dan belajar
free style. Ada juga beberapa anak sekitar yang mandi sambil
bermain-main dengan ombak. Karena itulah tim ekspedisi terlihat aneh bagi masyarakat
sekitar. Karena mereka memang jarang melihat orang luar main ke pantai.
Padahal menurut Idrus, kalau diberdayakan pantai tersebut bisa memberikan
nilai tambah bagi masyarakat sekitar. Selama ini mereka umumnya bermata
pencaharian sebagai peladang atau nelayan. Sedangkan yang bergerak pada sektor
jasa, khususnya pariwisata, bisa dibilang belum ada. Paling hanya pengelola
Wisma Afira di bagian pantai yang lain [Baca: Sepetak Asa di Wisma Tua].
“Inilah yang kita harapkan dari pemerintah. Kalau ada yang datang setiap
harinya tentu masyarakat juga yang diuntungkan. Minimal kita bisa berdagang
atau yang lainnya,” kata Idrus.
Ada beberapa persoalan yang menurutnya hingga kini belum bisa diatasi oleh
pemerintah. Seperti jalur transportasi yang belum memadai. Sehingga menyulitkan
masyarakat luar untuk datang ke Pulau Rupat. Selain itu sarana penunjang juga
belum ada, seperti penginapan, saat ini hanya ada satu wisma.
Padahal kalau akses ke pulau tersebut bisa lebih baik, Idrus yakin akan
semakin banyak orang yang datang ke Rupat Utara. Tidak hanya pada saat-saat
tertentu saja. “Bagaimana orang bisa datang kalau mau ke sini saja masih
bingung,” sindirnya.
Selain itu menurutnya, persoalan air bersih dan listrik juga menjadi
kendala utama di sana. Pemerintah menurutnya masih belum bisa mengatasi hal
tersebut. Kalau pun ada yang mau membangun hotel atau wisma, harus menggunakan
pembangkit listrik sendiri. Hal ini tentunya membutuhkan biaya mahal.
“Sederhana saja kalau menurut kami. Kalau memang pemerintah mau
mengembangkan pantai ini, masalah-masalah itu harus diatasi dulu. Baik itu
akses jalannya, air bersih ataupun listrik,” ujarnya.
Idrus meyakinkan bahwa masyarakat di Rupat Utara mendukung penuh apapun
yang dilakukan pemerintah. Khususnya kebijakan pengembangan kawasan pantai.
Namun pemerintah diminta tidak mengabaikan budaya lokal yang sudah lama
mengakar.
Sebagai salah satu orang yang dituakan di desa tersebut, ia bisa menjamin
kalau masyarakat terbuka terhadap masuknya kebudayaan asing di Rupat. Kalau
memang pantai tersebut dipenuhi turis-turis asing dengan busana minim, hal
tersebut menurutnya sudah menjadi konsekuensi.
“Kalau seperti itu kan memang sudah menjadi hal yang biasa dan kita tidak
bisa menolaknya. Namun kita tetap minta agar suasana sopan juga bisa lebih
diperhatikan,” harapnya.
Terakhir Idrus meminta, pemerintah juga melatih pemuda setempat agar bisa
menjadi pemadu wisata. Sehingga kalau ada wisatawan yang datang, masyarakat
siap menerimanya. “Kalau memang pemerintah mau, masyarakat juga pasti akan
mau,” katanya.
Hal senada juga dikatakan Mat Jaman (65), didampingi anaknya Kamaruzzaman
(34) dan Zainuddin (39) tetangganya. Mereka sama-sama sepakat, kalau pemerintah
mengembangkan kawasan wisata di desa tersebut. Namun mereka meminta pemuda
setempat dilibatkan dalam industri pariwisata.
”Supaya anak-anak mudanya tidak menganggur. Kalau menganggur kan nanti bisa tidak aman, ada yang jahatlah dan
sebagainya. Tapi kalau mereka diberi kesempatan menjadi pemandu, pedagang dan
lain-lain, yang penting bekerja, pasti mereka senang,” ujar Mat Jaman.
Mereka juga bersedia kalau ada konsep pariwisata yang memberdayakan
masyarakat. Misalnya penduduk setempat menjadikan rumahnya sebagai home stay
bagi wisatawan. Atau memanfaatkan perahu nelayan untuk berwisata ke laut.
”Kami semua setuju kalau dilibatkan seperti itu. Masyarakat sini mudah-mudah,
tapi ya itu tadi, tolonglah kehidupan kami juga diperhatikan,” ujarnya.
Nuryancik (80), pemilik Wisma Afira, satu-satunya wisma di sana, juga
berharap pemerintah segera merealisasikan pengembangan wisata di Rupat Utara. Tapi
sebelum benar-benar menjadi kawasan wisata, ia berharap pemerintah lebih dulu
mendidik masyarakat untuk masuk ke bisnis tersebut.
Dia mencontohkan, bagaimana cara menyambut wisatawan yang datang. Kemudian
bagaimana cara menjadi pemandu wisata yang baik, membuat suvenir dan
sebagainya. Termasuk membina kesenian tradisional sebagai hiburan buat
wisatawan.
”Masyarakat atau anak-anak muda di sini harus dibina oleh pemerintah.
Contohnya kebudayaan dan kesenian. Kalau
musik-musik modern kan di mana-mana ada. Wisatawan kan, pengalaman Bapak di
Malaysia, biasanya mencari seni-seni tradisional. Kita kan punya seni Melayu,
tapi anak-anak kita belum tahu bagaimana cara mainnya. Mereka itu harus
dibina,” tuturnya.
Minim Informasi
Minimnya informasi dan infrastruktur Pulau Rupat juga dibenarkan beberapa pengunjung
yang kami temui. Ilham (19), pelajar
SMKN 2 Dumai mengaku baru pertama kali berkunjung ke sana. Meski letih di
perjalanan, dia senang melihat keindahan pantai tersebut. Sebelumnya ia hanya
mendengar pantai tersebut dari teman-teman sekolahnya yang banyak berasal dari
Pulau Rupat.
”Ini memang pertama kali datang. Tadi memang sempat kesal juga karena
jalannya sangat buruk. Kebetulan kita datang ke sini dibawa langsung oleh teman
sekolah yang memang berasal dari sini. Tapi saat sampai di pantai, kita senang
juga,” ujarnya.
Ilham mengaku tidak akan berani datang langsung ke Pulau Rupat tanpa
ditemani oleh teman-teman yang asli daerah itu. Menurutnya, selain jaraknya
yang cukup jauh, jalan-jalan di Pulau Rupat juga sangat membingungkan. Apalagi
tidak adanya petunjuk jalan.
Amin (19), pelajar satu sekolah dengan Ilham juga merasa takjub melihat
keindahan pantai tersebut. Ia pun baru pertama kali
datang ke pantai Rupat Utara. “Saya kan berasal dari Ujungbatu (Rokan Hilir),
kebetulan sekolah di Dumai. Karena belum pernah ke
pantai makanya senang bisa diajak ke sini. Apalagi saya lihat pantainya juga
masih alami,” ungkapnya.
Sebelum mendapat cerita dari teman-teman sekolah yang memang berasal dari
Rupat, Amin mengaku tidak pernah tahu keberadaan pantai tersebut. Untuk itu ia
sangat mengharapkan pemerintah bisa lebih mempromosikan pantai itu
Bahkan rencananya dia bakal mengajak teman-teman sekolah lainnya ke Pulau
Rupat. Menurutnya, kalau bisa mereka melakukan kegiatan ekstrakulikuler di sana.
Seperti berkemah maupun melakukan kegiatan luar ruang lainnya. “kami kira
tempat ini juga bagus untuk kegiatan seperti itu,” imbuhnya.
Sama seperti pendapat sebelumnya, Andri (18), Sadikin (19) dan Ishak (19)
yang ikut dalam rombongan siswa SMKN 2 Dumai itu juga mengungkapkan keterjutannya
terhadap keberadaan pantai tersebut. Bahkan mereka berminat datang lagi ke
pantai itu lagi. “Kalau ada liburan, kita pasti ke sini lagi,” ujar Andri
mewakili teman-temannya.
Bahkan di mata para pelajar itu, pantai Rupat Utara sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi tempat wisata unggulan di Riau. Asalkan pemerintah mau
memperbaiki sarana dan prasarana yang ada.
“Harapan kita tentunya pengembangan pantai ini bisa dilakukan secepatnya. Apalagi kita di sini maupun di Dumai
sangat minim sekali objek wisata yang bagus. Dengan adanya pantai ini
tentu orang akan berbondong-bondong datang ke sini,” ungkapnya.
Mereka juga mengaku siap memberikan informasi keberadaan pantai tersebut
kepada keluarga, masyarakat, maupun sekolahnya. Hal ini menurut mereka bakal berguna
bagi masyarakat luas. “Setelah kami akan semakin banyak yang datang ke sini,”
ujar Amin.
Bertabur Potensi
Lanskap pantai dengan deretan nyiur yang melambai sudah biasa ditemukan.
Namun sangat sedikit pantai yang keindahannya dilengkapi dengan jajaran pohon cemara.
Itulah yang kami temui di Pantai Lohong,
Desa Sungai Cingam, Kecamatan Rupat. Di sepanjang pantai, dedaunan cemara
tampak melambai ditiup angin. Sayangnya, saat kami di sana pada Minggu (3/1/2010) pagi, air laut sedang pasang. Sehingga hanya
sedikit keindahan pasir putih yang bisa diintip.
Pantai ini tak kalah indah dengan pantai di Rupat Utara. Satu hal lagi yang
menyamakan, dua-duanya sama-sama jarang dijamah pengunjung. ”Paling kalau akhir
pekan, liburan panjang dan malam tahun baru ramai didatangi orang. Tapi
paling-paling ya orang-orang pulau ini juga pengunjungnya,” ujar Ahmad Zamroi, yang
tinggalnya hanya 3 kilometer dari pantai.
Sebenarnya, malamnya Ahmad hendak mengajak tim ekspedisi ke dua pantai di
kawasan tersebut, satu lagi pantai di Desa Makeruh. Apalagi saat itu sedang
bulan purnama. Namun karena cuaca tak mendukung, sedang musim hujan, niat itu
tak kesampaian. Sebab jalanan becek tak bisa dilewati kendaraan. Lagi pula
bulan pun tertutup mendung.
”Kapan-kapan mungkin kita bisa ke sini lagi. Kalau lagi terang bulan
(purnama) dan cuaca cerah, pantai-pantai di sini juga sangat indah,” ujarnya. Bahkan,
setelah ada akses jalan, banyak orang lebih menyukai pantai di kawasan
tersebut.
Menurut Amizan (17), pemuda Desa Cingam yang ikut mengantar tim ekspedisi,
sebelumnya ritual Mandi Safar hanya di lakukan di Rupat Utara. Tapi kini semua
kampung yang dekat pantai melakukan hal tersebut.
”Biasanya jadi tempat keramaian, ada hiburan, lomba dan lain lain. Mungkin dulu orang mikir coba-coba buat (Mandi Safar) di kampung masing-masing,
termasuk di Lohong. Ternyata pengunjungnya juga ramai. Jadi masing-masing kampung
buat sendiri, daripada pergi jauh-jauh ke Rupat Utara. Ternyata antusias masyarakat
bagus, jadilah Safaran ini dilakukan di banyak kampung,” tuturnya.
Kalau cuaca cerah, dari pantai Makeruh dan Lohong, daratan Malaysia juga
terlihat. Karena posisinya juga berhadap-hadapan dengan negeri jiran tersebut. ”Pantainya
juga lebih indah, kalau di depan sana langsung nampak Malaysia,” kata Amizan, yang
mengaku kerap main ke dua pantai tersebut, Makeruh dan Lohong. Meski berada di
utara Selat Morong, namun keduanya masuk wilayah Rupat bagian selatan.
Ahmad Zamroi juga membenarkan kalau ritual Mandi Safar juga mulai digelar
di pantai-pantai yang masuk wilayah Rupat selatan. ”Bahkan banyak orang Dumai
dan Rupat yang pergi Mandi Safar ke sini. Ramai sekali, tak kalah dengan di
Rupat Utara. Mungkin karena ke sini lebih mudah, bisa pakai sepeda motor dan balek
hari,” katanya.
Dari penuturan Sumarto (55), warga Desa Sungai Cingam, dirinya pernah
beberapa kali mencari ikan pada malam hari di kawasan pantai tersebut. Di salah
satu bagian pantai, ada pasir yang menyala, seperti mengandung fosfor. Namun
tak banyak yang tahu fenomena tersebut, sebab tidak semua bagian pantai pernah
dijamah orang, terutama pada malam hari.
“Pasirnya mengeluarkan cahaya. Pernah saya ambil dan saya bandingkan dengan
pasir biasa, yang menyala itu lebih berat. Saya tak tahu zat apa yang
dikandungnya,” ujarnya kepada tim ekspedisi.
Ia pun membenarkan bahwa pantai yang ada di kawasan tersebut baru-baru ini
saja ramai dikunjungi orang. Dulu, sebelum ada akses jalan menuju pantai,
paling hanya pencari ikan yang melintasi kawasan tersebut. Itu pun tak banyak,
karena di sekitarnya masih hutan belantara.
Dari pengamatan singkat kami, pantai tersebut ujungnya berada di sebelah utara Selat Morong. Sebab dari
selat ke selatan, pantai sudah berlumpur. Bisa dibayangkan bagaimana besarnya potensi
tersebut, bila garis pantai berpasir putih memang memanjang mulai dari Selat
Morong hingga ke Teluk Rhu.
Namun berbeda dengan pantai di Rupat Utara, pantai Lohong di Cingam ini
jauh dari permukiman penduduk. Rumah penduduk paling dekat dengan pantai
sekitar 1,5 kilometer. Untuk menuju pantai tersebut, setelah melewati jalan beton
pengunjung harus lewat jalan beko sekitar 1 kilometer. Kalau sedang hujan,
jalan itu sulit dilalui sepeda motor. Sebelum sampai ke pantai, di kiri jalan terlihat
hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning. Sedangkan di kanan jalan,
terdapat kebun kelapa sawit yang baru ditanam. Sayangnya tim ekspedisi tak
sempat menjamah kemolekan pantai Makeruh.
Di Desa Sungai Cingam pun, kami hanya sekitar 20 menit mengeksplorasi keindahan pantai Lohong. Selain
kombinasi pasir putih dan jajaran pohon cemara, tak ada lagi yang bisa dinikmati
di pantai itu. Sebab di sana hanya ada dua kursi kayu, yang mungkin dibuat
warga setempat, untuk pengunjung. Namun banyaknya sampah plastik di rerumputan
yang tumbuh liar di sela-sela pohon cemara, membuktikan kalau pantai ini ramai
dikunjungi pada malam pergantian tahun kemarin.
Akses menuju pantai ini, dari Dumai ada speedboat jurusan Selat
Morong yang berangkat satu kali sehari pada pukul 15.00 WIB. Speedboat ini
berangkat dari Selat Morong pukul 09.00 WIB. Kalau berangkat dari Dumai ada dua
pelabuhan yang disinggahi, pertama pelabuhan Sungai Cingam dan terakhir
pelabuhan Pangkalan Nyirih. Waktu tempuhnya sekitar 2 jam. Di Dumai
pelabuhannya sama dengan speedboat ke Tanjung Medang, di Pelra Jalan
Budi Kemuliaan.
Berbeda dengan pantai di Rupat Utara, di pantai ini tidak ada satu pun
penginapan. Kalau ada wisatawan yang ke sini, paling menginap di rumah-rumah
penduduk. Akses transportasi publik juga tidak ada, hanya ojek sepeda motor. Menuju
pantai ini sebenarnya bisa dilakukan melalui jalan darat. Rutenya dari Dumai naik
kapal roro ke Tanjung Kapal, Rupat bagian selatan. Lalu dilanjutkan dengan jalan
darat ke Pangkalan Nyirih.
Namun karena jembatan yang dibangun Pemkab Bengkalis belum juga selesai,
melewati Selat Morong yang lebarnya sekitar 150 meter itu, hanya bisa
menggunakan pompong. Tapi lewat darat pun hanya bisa menggunakan sepeda motor. Sebab
jalan yang ada di Pulau Rupat belum bisa dilewati mobil. Kabarnya kalau
jembatan tersebut sudah jadi, baru dilanjutkan dengan perbaikan jalan sehingga
bisa dilewati mobil. Tapi entah kapan. (*)
Catatan: Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di RiauBisnis.com.
No comments
Post a Comment