"Nasib Kami Seperti Sudut Dapur"
Ombak Selat Malaka berkali-kali
membasuh hamparan pasir putih di pantai Teluk Rhu, Kecamatan Rupat Utara,
Bengkalis, pada Sabtu (2/1/2010). Bersaing dengan gerimis yang turun lembut. Langit
tampak kelabu, padahal jarum jam baru menunjukkan pukul tiga sore. Laut
terlihat lengang dengan ombak yang nyaris tenang. Setenang rumah-rumah penduduk
yang ada di tepi pantai. Berjejer acak di antara pohon-pohon kelapa.
Sekitar 30 meter dari bibir pantai, sekelompok warga terlihat sedang
beraktivitas di beranda. Letaknya di samping rumah yang berbentuk panggung dari
kayu tanpa cat. Semua pintunya terlihat terbuka, membiarkan angin masuk ke
dalamnya. Kami pun ke sana untuk
bertegur sapa. “Katanya kawasan ini mau dijadikan tempat wisata, Pak?”
“Itu dari dulu! Sejak zaman presidennya Soeharto katanya mau dibangun
tempat wisata. Tapi sampai presiden berganti empat kali tak pernah jadi!” kata
Mat Jaman (65), salah satu tetua desa setempat, berapi-api.
Menurutnya, sudah banyak pejabat yang datang ke sana menjanjikan daerah
tersebut dibangun menjadi kawasan wisata. Mulai pejabat kabupaten, provinsi, hingga
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat dijabat Mardiyanto, pada 17 Maret 2008
lalu. Kunjungan Mendagri ke kecamatan yang memiliki objek wisata bahari yang
disebut-sebut tidak kalah dengan keindahan pantai Kuta di Pulau Dewata itu,
dalam rangka melihat dari dekat pulau terluar yang ada di Riau.
“Waktu itu ramai masyarakat sini menyambutnya. Menteri itu memuji-muji daerah
ini, katanya pantai indah, lebih indah dari Bali,” imbuh Mat Jaman.
Tapi kenyataannya, pembangunan Rupat Utara yang dijanjikan itu tak juga terwujud.
Mat Jaman semakin terlihat emosi mengenang banyak calon legislatif yang
menjelang pemilu rajin datang menebar janji ke kawasan tersebut. “Tapi selesai pemilu, tak satu pun yang terpilih datang kemari,” katanya
ketus.
Karena itulah, dia bersama warga lainnya sudah tak percaya lagi dengan
janji-janji pemerintah untuk membangun Teluk Rhu menjadi kawasan wisata, dengan
segala fasilitasnya. Bagi mereka, dibangun syukur tak dibangun pun tak kecewa.
”Kalau diibaratkan nasib kami di sini ini, seperti sudut dapur. Tahu kan awak
sudut dapur, yang mau menyapu pun kita malas. Dibiarkan kotor banyak sampah. Kami
ini tak dianggap laman yang harus dibersihkan dan dirawat supaya tampak indah,”
ujarnya menggebu-gebu.
Meski begitu Mat Jaman masih berharap desanya jadi kawasan wisata yang
menarik. Sehingga perekonomian masyarakat pun ikut membaik. ”Kalau cerita Rupat
sejak dulu dah banyak yang cerita kalau Rupat tu cantik. Jadi kami tak kesah (tak peduli) lagi, sebab sampai sekarang Rupat
masih macam ni juge. Pantainye memang cantik tapi Rupat masih
macam ni lah. Tak berubah-ubah,” katanya lebih datar.
Semua masyarakat, kata Mat Jaman, sebenarnya sangat mendukung pengembangan
kawasan wisata. Asalkan dilakukan sesuai prosedur yang manusiawi. ”Kami tentu
maulah kalau Rupat ni
dikembangkan jadi tempat wisata. Macam mane rimbe (hutan) diubah jadi
kota. Siape yang tak mau. Tapi tengoklah carenya jangan sampai
orang-orang sini main tolak (gusur) aje. Kami ni dah
berpuluh-puluh tahun tinggal kat pantai, mane bise main tolak
aje,” ujarnya.
Artinya, kalaupun masyarakat tepi pantai harus dipindah, mereka bersedia. Tapi
harga ganti ruginya harus sesuai. Kemudian masyarakat setempat, khususnya pemuda,
dilibatkan dalam kegiatan pariwisata. Seperti menjadi penjual suvenir, pemandu
wisata, penyedia home stay dan sebagainya.
”Kalau betul-betul mau membantu masyarakat tentu harus bantu sepenuhnya. Jangan
bantu setengah-setengah,” ujar Mat Jaman.
Dia mencontohkan, beberapa waktu lalu pemerintah memberi bantuan kepada
nelayan. Tapi bantuan tersebut hanya beberapa bagian. Sehingga sia-sia, malah menambah
susah masyarakat setempat.
”Macam beberapa waktu lalu dikasih pompong tapi tak ade mesin, dikasi
bahan rumah tapi tak ade semen. Masyarakat sini miskin, jadi bantuan seperti
itu malah buat pening kepale. Masyarakat jadi tambah susah. Sebab untuk
membuat rumah sampai jadi kami tak mampu. Tentu bantuan yang diberikan jadi
bahan pikiran saje,” terangnya.
Idrus (70), warga Teluk Rhu yang tinggal sekitar 100 meter dari pantai juga
mengatakan, sejauh ini belum ada perubahan berarti terhadap kawasan pantai
tersebut. Menurutnya sejak dirinya kecil hingga sekarang pantai
tersebut masih terlihat sama. “Kalaupun ada pembangunan, itu mungkin turap yang
dibangun sekarang itu. Tapi itu juga baru dibangun,” ujarnya.
Turap tersebut dibangun mulai di ujung kiri pantai Teluk Rhu, berdekatan
dengan menara suar. Panjangnya masih beberapa ratus meter. Material yang
digunakan cor beton dilengkapi pecahan batu cadas yang disusun rapi, sehingga
mirip benteng pertahanan. Saat kami ke sana, sebuah excavator terlihat sedang melakukan pekerjaan. Menurut
warga sekitar, turap tersebut untuk mencegah abrasi. Karena tepat di bibir
pantai, banyak rumah-rumah penduduk.
Selebihnya hingga saat ini belum ada pembangunan mencolok. Padahal menurut
Idrus, dirinya bersama masyarakat lainnya sangat mendukung upaya pemerintah
menjadikan kawasan tersebut untuk pariwisata. ”Kami dan masyarakat sini
mendukung pembangunan tempat wisata ini,” ujarnya.
Namun diakuinya, Pemkab Bengkalis memang pernah beberapa kali menjanjikan
rencana pengembangan kawasan pantai tersebut. Tapi hingga kini belum ada realisasinya.
Meski demikian, masyarakat tempatan menurut Idrus tidak bakal jenuh berharap.
“Sebagai masyarakat kita memang tidak bisa berbuat apa-apa. Namun tentunya
kita tetap berharap pemerintah betul-betul memperhatikan keberadaan pantai ini.
Jangan sampai potensi ini dibiarkan begitu saja,” ujarnya.
Pembangunan yang dinanti-nantikan tak kunjung datang ini, ternyata tidak
membuat semua masyarakat bertahan di kampung halaman. Tak sedikit masyarakat
setempat yang memilih merantau ke luar daerah untuk mencari penghidupan yang
lebih baik. Salah satunya Ramli (35), yang mengaku sudah belasan tahun merantau
ke Dumai.
“Jarang balik, paling cuma buat nengok orang tua atau ada keperluan
penting lain,” katanya kepada kami dalam perjalanan laut menuju Tanjung Medang.
Ramli bercerita, lambatnya perkembangan di Rupat antara lain karena dulunya
pulau itu terkenal dengan hal-hal berbau mistik. Hal ini dia nilai sebagai
salah satu penghambat pembangunan di daerah tersebut. ”Dulu banyak juga yang
datang ke Rupat, tapi tak mau makan di sini, takut kena racun. Kalau sudah
kena, tak bisa hilang seumur hidup,” tuturnya.
Tapi kini, setelah banyak orang Rupat merantau anggarapan itu pun mulai terkikis.
Kemajuan teknologi, kata Ramli, juga membuat orang Rupat
mulai beralih dari cara berpikir tradisional ke modern.
Ia mengungkapkan, umumnya orang Rupat yang merantau ke Dumai bekerja
sebagai pedagang. Tapi tak sedikit juga yang merantau ke Bengkalis dan daerah lainnya
di Riau, hingga ke Pekanbaru. ”Kebanyakan mereka yang ke Bengkalis dan
Pekanbaru itu untuk sekolah. Sekarang ini orang tua di Rupat sudah sadar
pentingnya pendidikan untuk anak-anaknya,” jelasnya.
Ramli menilai, banyaknya orang Rupat yang merantau karena faktor ekonomi. ”Kalau
tinggal, paling cuma berladang atau nelayan. Tapi kalau merantau bisa pulang bawa
uang, terus bangun rumah bagus,” imbuhnya. Di Dumai, kata dia, banyak paguyuban
orang Rupat. ”Perkumpulannya tergantung dari daerah mana mereka berasal,” terangnya.
Tingginya mobilitas masyarakat Rupat ke luar daerah juga diakui Herman,
nahkoda speedboat Samudera Rupat II yang melayani rute Selat
Morong-Dumai pulang pergi. Kapal cepat berkapasitas 60 penumpang itu rata-rata
penuh setiap hari. Apalagi pada waktu tertentu, jumlah penumpang kadang melebihi
kapasitas. Bahkan kadang penumpang sampai berdiri.
Tak hanya di dalam negeri, mobilitas masyarakat Rupat ke negeri jiran juga
lumayan tinggi. Bahkan dari Pangkalan Nyirih dia sering membawa carteran penumpang
ke Malaysia. ”Kalau dulu ade pengelola PJTKI yang memberangkatkan TKI ke
Malaysia. Kadang ade juga orang sakit atau keluarga meninggal yang carter
speed ke sana,” ujarnya.
Herman juga membenarkan kalau mata uang ringgit laku dibelanjakan di Rupat.
Tapi biasanya nilai ringgit sedikit lebih murah. Misalnya satu ringgit nilai
resminya Rp 2.700 paling di sana dihargai Rp 2.500. ”Anak-anak Rupat banyak
yang bekerja kat Malaysia,” imbuhnya.
Dinamika Kehidupan Suku Akit
Pulau Rupat selain menyimpan kekayaan pariwisata juga memiliki kekayaan kultural.
Salah satunya kebudayaan Suku Akit, yang merupakan komunitas adat terpencil di
Pulau Rupat. Suku Akit ini tersebar di beberapa kawasan Pulau Rupat, salah
satunya Desa Titi Akar. Namun karena keterbatasan waktu kami hanya sempat melihat kondisi Titi Akar dari pelabuhan. Karena
sebelum ke Tanjung Medang, speedboat yang kami tumpangi singgah sebentar
menurunkan penumpang di sana.
Dari penuturan Yelda, guru sekolah dasar yang ditugaskan di Titi Akar, masyarakat
Akit kini tidak lagi terbelakang seperti yang diceritakan banyak orang. Namun
mereka juga sudah banyak yang sekolah dan berbaur dengan suku-suku lainnya,
seperti Melayu, Jawa, Batak, Bugis, Minang dan etnis Tionghoa.
”Dari Titi Akar sekarang juga sudah ada akses jalan ke Tanjung Medang, meskipun
hanya bisa dilewati sepeda motor. Di sana saya dan suami selain mengajar juga menanam
sawit,” katanya..
Julianus P Limbeng, seorang etnomusikolog dan antropolog yang pernah
melakukan ekspedisi ke perkampungan Suku Akit menceritakan, mereka mempunyai
kebudayaan yang khas, yang menurut beberapa pendapat merupakan perpaduan antara
budaya Cina dan budaya lokal (Melayu-Islam). Oleh sebab itu suku Akit mengenal
upacara khitanan bagi anak laki-laki dan juga hari raya kurban. Namun di satu
sisi mereka tetap taat dengan kebudayaan dan ajaran Budha atau Kong Hu Cu.
Dalam artikel Suku Akit: Menjaga dan Mewarisi Tradisi Adat yang
dipublikasikan di blog pribadinya, Limbeng menuliskan, Suku Akit adalah salah
satu suku bangsa yang selama ini diketegorikan sebagai suku yang masih
mempertahankan adat istiadatnya. Kehidupan suku Akit mayoritas masih sangat
dekat dengan alam. Meskipun sebagian masyarakatnya sudah mengenal, bahkan
terpengaruh dengan budaya luar.
Menurut Limbeng, kebanyakan dari mereka masih menggantungkan hidupnya pada
hasil hutan dan hasil laut. Mereka hidup menangkap ikan serta berkebun karet
dan kelapa. Kehidupan sehari-hari mereka lebih banyak digantungkan pada alam.
Selama berpuluh tahun mereka dikenal sebagai masyarakat yang mengoptimalkan
hasil alam di sekitarnya, seperti hutan bakau dan laut. Mereka juga berladang
padi. Panen beras setiap tujuh-delapan bulan sekali biasanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan harian mereka. Namun, kehidupan sederhana itu belakangan ini
semakin terusik. Terdesak oleh kemajuan zaman, modernisasi, mereka merasa
ditinggalkan.
Jika ditinjau dari segi kesejarahan, menurut Limbeng, kata Akit berasal
dari kata rakit, sebab suku Akit secara singkat dapat dikatakan suku rakit,
orang rakit atau tukang rakit. Suku ini pada mulanya telah menjadi rakyat
Kerajaan Gasib-Siak. Mereka mendapat tugas dari Sultan
Siak mengambil dan merakit kayu. Mereka telah dibagi menjadi tiga tugas, pertama,
rombongan yang merakit di sungai, disebut Akit Biasa. Kedua, rombongan yang
merintis jalan di sungai disebut dengan Akit Ratas. Ketiga, rombongan
yang menebang kayu di hutan yang disebut dengan Akit Hutan.
Menurut beberapa sumber tradisi lisan, Suku Akit Hutan inilah yang kemudian
menjadi suku hutan. Kayu hasil rakitan inilah yang kemudian hari dijual oleh
Kerajaan Siak sebagai salah satu sumber pendapatannya pada abad ke-18. Limbeng mengutip
Nusrin Caniago (1985) mengutip pendapat H.A. Hijmans van Anrooij (1885:347)
dalam Het Rijk van Siak, mengatakan suku Akit merupakan keturunan orang
pesisir Timur Sumatera. Mereka mengembara sepanjang pantai selatan Selat
Malaka.
Suku Akit di Siak dikatakannya, terbagi terbagi atas Akit Peguling dan Akit
Morong. Yang terakhir itu terbagi atas Akit Ratas dan Akit Biasa. Sedangkan WBC
Wintgest dan EM Unlenbech dalam Encyclopaedic van Nederlansche Indie, berpendapat
bahwa orang Akit ini termasuk keturunan bangsa Negritisch (Negrito). Hal ini
tampak dari rambut mereka yang keriting dan badan yang kekar besar. Mereka
mendiami Sungai Mandau cabang Sungai Siak. Jumlah mereka pada abad ke-15
ditaksir sekitar 300 orang, dengan jumlah perempuan lebih sedikit dari lelaki.
Mereka membuat rumah di atas rakit, mempunyai perapian dari pasir dan abu.
Tetapi tradisi lisan yang berkembang pada tokoh-tokoh adat Suku Akit, menurut
Limbeng, misalnya tradisi lisan yang diketahui oleh Batin (Kepala Suku) Hutan
Panjang di Pulau Rupat. Menyebutkan bahwa mereka berasal dari rakyat Kerajaan Gasib
abad 15-17. Setelah Aceh menyerang Gasib mereka menghindar ke Sungai Mandau
mempergunakan rakit. Di Mandau bertemu dengan Akit Perawang dan Sakai.
Setelah muncul Kerajaan Siak menggantikan Kerajaan Gasib tahun 1723, maka
daerah mereka termasuk daerah Kesultanan Siak dibawah kekuasaan Datuk Laksamana
Bukit Batu. Karena mereka tidak mempunyai hak atas tanah ulayat (sebab yang
berkuasa adalah Batin Perawang) maka mereka meminta pindah ke Pulau Rupat.
Untuk mendapatkan Pulau Rupat, tulis Limbeng, mereka harus menebus pulau
itu kepada orang Rempang berupa sekerat tampi sagu, sekerat mata beras, sekerat
dayung emas dan sekerat mata kujur (kojor). Karena orang Akit tidak memenuhi
syarat itu, maka mereka mengadu kepada Datuk Laksamana Bukit Batu. Datuk
menyampaikan keinginan mereka kepada Sultan Siak. Sultan pun memberikan izin,
Datuk Laksamana Bukit Batu diutus untuk memberikan semua syarat, sambil
mengantarkan orang Akit ke Pulau Rupat. Jumlah penduduk yang pindah saat itu
diperkirakan lebih kurang 200 orang lelaki dan perempuan, dewasa dan anak-anak.
Dalam serah terima tersebut orang Rempang telah berpesan kepada orang Akit
“Pulau Rupat ini jangan sampai diserahkan lagi kepada tangan orang lain”.
Sejak saat itu suku Akit telah menetap disana. Selama di Rupat ini orang
Akit mempunyai enam orang Batin, yakni Batin Boja disebut juga dengan Batin
Naeng (kuat), Batin Betirpas, Batin Sisik, Batin Monong, Batin Koding dan Batin
Gelimbing yang sekarang berkedudukan di Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara. Sebagai
Batin Titi Akar ini sekarang adalah Bapak Sailan.
Peran Batin ini sangat erat kaitannya dengan mempertahankan tradisi dan
adat istiadat mereka. Batin berperan dalam siklus kehidupan suku Akit, baik
yang terkait dengan kegiatan pertanian, melaut, upacara-upacara adat dan
ritual, serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya terkait dengan adat dan
tradisi yang sampai saat ini masih mereka pegang dengan teguh. Upacara-upacara
seperti buang anca, dan upacara-upacara terkait dengan pertanian masih mereka
lakukan.
Demikian juga peran bomo (dukun), kata Limbeng, masih berfungsi baik
sebagai orang pintar terkait dengan badekeh dan kegiatan lainnya. Dewasa ini
Batin juga telah difungsikan oleh pemerintah sebagai pemimpin formal, yaitu
sebagai kepala desa. Melihat peran Batin yang besar menjaga tradisi dan adat
istiadat, maka Batin menjadi penting baik bagi suku Akit sendiri.
”Sebenarnya kami dulu merupakan masyarakat yang hidup di pinggir-pinggir
Sungai Siak. Kami bernaung di bawah Kerajaan Siak Sriindrapura, sampai akhirnya
kami diberikan tempat tersendiri yang aman,” kata Sailan, dikutip Limbeng.
Sailan adalah Batin Akit Titi Akar, yang baru menduduki jabatan adat tersebut
menggantikan saudaranya, Anyang, yang menjadi pemimpin formal (kepala desa).
”Kami adalah suku Asli daerah ini, dan sampai saat ini kami masih terus
melaksanakan dan mewarisi adat-istiadat kami,” kata Anyang.
Sedangkan Nenggih Susilowati dari Balai Arkeologi Medan menjelaskan, terdapat
kisah yang disampaikan secara turun-temurun tentang masyarakat tersebut
berkaitan dengan asal muasal dan keberadaannya hingga sampai ke Pulau Rupat. Awalnya
suku-suku Rakit, Ratas, Hutan, Sakai berasal dari Minang (Pagaruyung). Ketika
terjadi peperangan dengan Belanda mereka mundur mengungsi ke hutan lalu ke
sungai Mandau kemudian ke Sungai Siak Sriindrapura. Pada masa pemerintahan
Sultan Syarif Kasim, diadakan kenduri dan menyuruh orang untuk mengambil kayu
di hutan, sehingga dibagi empat kelompok, yaitu; kelompok menebang kayu
(hutan), meratas (ratas), merakit (rakit), dan Sakai.
Setelah seminggu mereka kembali ke Siak dengan membawa kayu. Kemudian keempat
suku diperintahkan mencari tempat atau pulau yang tidak ada binatang buas,
sampailah kelompok Rakit dan Ratas ke suatu pulau. Kelompok tersebut menyusuri Selat
Morong dari barat hingga ke timur. Semula yang mendiami pulau tersebut adalah
orang Rampang yang kemudian dikenal dengan suku Laut. Mereka diperbolehkan
menempati pulau tersebut dengan membawa barang-barang sebagai alat penukar
seperti; sebatang pendayung emas, sekerat biji beras, dan sekerat tampi sagu.
Kemudian kelompok tersebut ke Bukit Batu menghadap ke Laksamana Raja Dilaut
untuk meminta bahan-bahan itu. Selanjutnya Laksamana meneruskan ke Sultan Siak,
bahan-bahan tersebut diberikan ke Laksamana, kemudian diberikan ke kelompok
tersebut dan oleh kelompok itu diserahkan ke orang Rampang. Terjadilah
pertukaran tempat yang akhirnya pulau itu dikenal dengan Pulau Rupat (Pulau
Tukar Tempat).
Selanjutnya kelompok Ratas menetap di Titi Akar, di bagian timur Selat
Morong, dan kelompok Rakit menetap di Hutan Panjang, di bagian barat Selat
Morong. Sebagian kelompok masyarakat asli yang semula tinggal di Desa Titi Akar
kemudian menyebar ke Batu Panjang dan Kampung Rampang tidak jauh dari tepi
pantai. Keberadaan pemukiman mereka yang berdekatan dengan perairan menarik
untuk dicermati terutama bagi masyarakat Akit di Desa Hutan Panjang, yang
tinggal di dekat Selat Morong. Sekalipun kini permukiman mereka letaknya lebih
masuk ke bagian daratan.
Dalam hasil penelitian Dampak Perkembangan Jalur Transportasi Terhadap
Kehidupan Masyarakat Akit di Desa Hutan Panjang, Pulau Rupat, yang
dipublikasikan di situs Balai Arkeologi Medan itu, Susilowati menceritakan,
masyarakat Akit yang tinggal di Desa Hutan Panjang kini sebagian besar menganut
agama Budha. Namun kehidupan masyarakatnya masih kental dengan tradisi lamanya.
Meliputi upacara-upacara tradisional yang masih terpengaruh kepercayaan
animisme/ dinamisme menyangkut siklus hidup seperti kelahiran, perkawinan, dan
kematian.
Mengamati cerita rakyat yang disampaikan secara turun-temurun memperlihatkan
bahwa masyarakat Akit awalnya datang melalui perairan Selat Morong. Tidak
mengherankan bila kemudian mereka memilih tinggal di bagian tepian sungainya,
karena menurut informasi dahulu pemukiman masyarakat berada di sekitar sungai.
Tepian sungai pada waktu itu dianggap sebagai tempat yang strategis untuk hidup
sehari-hari. Mengingat sungai selain merupakan prasarana transportasi yang
mudah untuk menjangkau satu tempat ke tempat lain, juga karena sungai merupakan
sumber air dan sumber makanan (ikan).
Kehidupan di tepi sungai juga diikuti dengan pembangunan rumah-rumah
berpanggung, dan ditunjang dengan moda transportasi air seperti perahu. Perahu
bagi masyarakat yang tinggal di tepian sungai merupakan alat penting untuk
menunjang kehidupan sehari-hari. Tidak hanya sebagai alat transportasi, tetapi
juga sebagai penunjang dalam memenuhi kebutuhan hidup, seperti mencari ikan.
Perahu tampaknya tidak didatangkan dari tempat lain, tetapi dibuat sendiri oleh
sebagian masyarakat yang memiliki keahlian membuat perahu. Keahlian tersebut
diwariskan secara turun-temurun mengingat di desa tersebut masih dijumpai
galangan pembuatan perahu tradisional dari kayu.
Seperti halnya masyarakat lain yang tinggal di hutan, masyarakat Akit
memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan lingkungan alam
sekitarnya (hutan dan sungai). Kebutuhan ekonomi selain dipenuhi dengan
berburu, meramu, mencari ikan, tidak jarang juga dengan melakukan perladangan
sederhana. Kondisi lingkungan seperti sungai dengan ikan-ikan di dalamnya, rawa
dengan tanaman sagu, serta hutan dengan flora dan faunanya memungkinkan
dilaksanakannya kegiatan ekonomi tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Awang, pengelola speedboat Samudra Rupat II yang kami naiki dari Selat Morong, Pangkalan Nyirih, menuju Dumai
juga menceritakan bahwa penduduk asli Pulau Rupat adalah Suku Akit. Dia sendiri
kelahiran Rupat yang banyak mendapat cerita turun temurun dari datuknya.
”Dari ceritanya, Suku Akit yang ada di Rupat ini kebanyakan pelarian dari Kerajaan
Siak dulu. Bahkan di sana ada makam tua tertanggal tahun 1800-an yang tidak
terawat,” tuturnya.
Tentang pembangunan Pulau Rupat, Awang memiliki pendapat sendiri. Menurut
dia, sebaiknya pembangunan Pulau Rupat dilakukan dengan model otorita, seperti
Otorita Batam. Karena dia menilai lebih efektif untuk mengembangkan Rupat.
”Kalau dari daerah juga, terlalu banyak prosesnya. Akhirnya dari dulu sampai
sekarang kami seperti ini,” keluhnya, mewakili kekecewaan sebagian besar masyarakat
Pulau Rupat. (*)
Catatan: Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di RiauBisnis.com.
No comments
Post a Comment