Breaking News

Bila Penguasa Alergi Media

KONFERENSI pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Senin (11/7/2011) lalu mendapat kecaman dari banyak kalangan. Pasalnya pada pidato tersebut, SBY justru mengkritik pemberitaan media yang selama ini mengekspos kasus korupsi yang diduga melibatkan kader partainya. Bukan memberi keterangan substantif tentang upaya memerangi dan mengungkap skandal korupsi tersebut. Dari sekian banyak kasus korupsi yang diduga melibatkan lingkaran kekuasaan, Presiden SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat justru mempersoalkan secuil berita yang bersumber dari BBM (BlackBerry Messenger) dan SMS, dari pihak yang mengaku Nazaruddin kepada wartawan yang isinya mendiskreditkan Partai Demokrat.
Padahal pemberitaan yang dilakukan media selama ini sudah memenuhi kaidah cover both side. Karena pada pemberitaan tersebut pers sudah memberi peluang menjelaskan untuk perimbangan berita. Akibat pernyataan yang tidak menyentuh inti persoalan bangsa tersebut, SBY menjadi bulan-bulanan media, pengamat, bahkan masyarakat awam. Bahkan Dewan Pers menilai sikap SBY itu justru memperlihatkan kesan defensif dan kepanikan. Sebab bahasa pers yang akhir-akhir ini gencar memberitakan korupsi Nazaruddin dan konflik Partai Demokrat masih dalam kaidah etik dan hukum jurnalistik.
Ketua Dewan Pers Bagir Manan juga menegaskan bahwa pesan pendek, e-mail, atau apapun merupakan fakta yang layak diberitakan, sepanjang ditulis sesuai etika jurnalistik dan ada penjelasan. Artinya pers telah menjalankan tugas jurnalistiknya dengan benar.
Sikap tendensius SBY terhadap media tersebut menunjukkan bahwa penguasa (pemerintah) saat ini masih alergi terhadap media. Padahal pada UU Nomor 40/1999 tentang Pers jelas disebutkan bahwa salah satu fungsi pers adalah kontrol sosial. Pada penjabarannya juga jelaskan bahwa pelaksanaan kontrol sosial oleh pers sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Sikap alergi Presiden SBY terhadap pemberitaan media tersebut tentu saja mengundang beragam cibiran baru dari publik. Masyarakat pun akhirnya beranggapan, pelimpahan kesalahan kepada media disebabkan ketidakmampuan SBY mengungkap dan menindak korupsi yang melibatkan orang-orang di sekitarnya. SBY pun dianggap membangun isu baru dengan menyalahkan masyarakat pers.
Logika pemahaman SBY terhadap pers tersebut patut disayangkan. Padahal kalau memang selama ini pemberitaan menyalahi kode etik jurnalistik, pihak yang dirugikan dapat melaporkannya ke Dewan Pers. Nyatanya hal itu tidak pernah terjadi. Artinya SBY terlalu emosional dan gegabah dalam membuat sebuah pernyataan penting menyangkut persoalan bangsa. Suatu kondisi yang justru menurunkan wibawa dirinya sebagai presiden. Padahal sebelum-sebelumnya ia dinilai sebagai komunikator yang baik, yang bijak menanggapi berbagai permasalahan.
Logika Pers Vs Penguasa
Dalam kapasitasnya masih sebagai Presiden, seharusnya SBY mafhum bila dirinya kerap menjadi bahan pemberitaan media. Karena dalam teori jurnalistik manapun, faktor ketokohan atau jabatan penting seseorang menjadi salah satu nilai berita. Orang-orang penting seperti pejabat negara, selebriti dan publik figur lainnya di manapun akan selalu menjadi news maker. Jangankan ucapan dan tingkah lakunya, namanya saja sudah membuat berita. Karena dalam teori jurnalistik disebutkan bahwa nama menciptakan berita (names makes news).
Di sini pers juga perlu dipahami sebagai pilar keempat demokrasi. Karena menjadi kekuatan penyeimbang dalam komunikasi politik setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena itulah sikap alergi terhadap pers justru kontraproduktif dengan penyehatan iklim demokrasi di Indonesia. Maka warisan logika penguasa yang cenderung membelenggu kritik pers seperti pada masa Orde Baru itu harus segera dihilangkan. Patut dicatat, upaya pembelengguan kebebasan pers oleh lingkaran kekuasaan saat ini, sebelumnya juga pernah terjadi. Yaitu saat Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyerukan pemerintah memboikot sejumlah media, sebuah sikap yang menunjukkan antikritik. Hal ini tentu saja tidak selaras dengan semangat reformasi.
Agar penguasa tidak alergi dengan pers, tentunya harus bisa mengubah paradigma dalam menghadapi media. Karena selama ini kecenderungan yang terjadi, penguasa menjadikan media sebagai lawan bukan penyeimbang. Penguasa umumnya tidak berpikir positif bila menghadapi pemberitaan yang buruk dari media. Paradigma tersebut antara lain: Pertama, menjadikan kritik media sebagai bahan evaluasi terhadap kinerja penguasa (pemerintah). Kedua, menjadikan pemberitaan media sebagai informasi untuk mengungkap penyelewengan kekuasaan. Ketiga, menjadikan media sebagai mitra penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.
Di sisi lain, media juga harus siap menghadapi kritik. Di mana media yang memiliki politik pemberitaan kritis, juga harus mau menerima setiap kritik yang muncul dari siapa pun, termasuk objek yang diberitakan. Karena media juga mempunyai tanggung jawab moral untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Tradisi kritik tentunya harus diimbangi dengan pemberitaan konstruktif, bukan sekadar menebar kebencian dan buruk sangka. Karena selain kontrol sosial, UU Pers juga mengamanatkan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan dan hiburan. Dalam konteks ini, berita kritik harus dibangun dengan paradigma pendidikan kritik yang baik. Sebab masyarakat juga membutuhkan informasi yang benar dan tidak menyesatkan. Informasi yang diperoleh dan dibangun berlandaskan kode etik jurnalistik.***
M Badri
Dosen Ilmu Komunikasi FDIK UIN Suska dan  Penggiat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru.
Tulisan ini dimuat di Riau Pos (12/9/2011) http://www.riaupos.co.id/opini.php?act=full&id=205&kat=1

No comments