Pilihan
“Anak-anak, kalau besar nanti ingin jadi
apa?”
“Dokter…”
“Pilot…”
“Astronot…”
“Presiden…”
Kata-kata
seperti itu kerap kita dengar di Taman Kanak-kanak sejak dulu sampai sekarang.
Pertanyaan dan jawabannya nyaris seragam. Di semua taman. Sejak zaman orde baru
sampai orde bingung. Dan… seringnya dalam satu sekolahan itu, kebanyakan tak
satu pun alumninya yang menjadi dokter, pilot, astronot, apalagi presiden.
Indikatornya
mudah saja. Berapa sih jumlah dokter? Berapa sih jumlah pilot? Apalagi astronot
dan presiden, kalau dibandingkan dengan jumlah Taman Kanak-kanak. Sekarang saja
hampir di setiap gang ada Taman Kanak-kanak. Tapi tidak setiap gang ada
dokternya. Apalagi yang tiga terakhir. Presiden saja dalam lima tahun paling
ada satu. Bahkan sekarang 10 tahun satu presiden dan dulu 32 tahun satu
presiden.
Nah,
itu dia. Mau jadi apa tentu pilihan. Bahkan dengan lucunya ketika ditanya ingin
jadi apa? Ada yang menjawab “ingin jadi semut”. Kenapa semut? Saya tidak tahu,
namanya juga anak-anak.
Maka
ketika bekas mahasiswa saya setelah tamat mau jadi apa? Ya, terserah saja.
Sekali lagi, mau jadi apa itu pilihan. Tidak ada yang boleh protes. Kampus saya
dulu saja tidak protes, waktu saya kuliah sampai tamat kuliah berlabel sarjana
pertanian, malah menjadi wartawan, menjadi desainer dan layouter koran. Bahkan
waktu saya menjadi cerpenis, penyair pun, nggak ada yang protes. Saya menjadi dosen
ilmu komunikasi juga nggak ada yang nyinyir:
kamu dulu sarjana pertanian harus jadi petani, harus jadi mandor kebun, harus
jadi pedagang sayur, harus jadi toke sawit…
Pilihan
itu itu demokratis. Saya hanya mengarahkan mahasiswa saya setelah tamat menjadi
ini inu anu sesuai bidang yang diambilnya. Mungkin semua guru dan dosen akan
melakukan hal seperti itu. Setidaknya supaya didirikannya kampus, jurusan, prodi-prodi
ada gunanyalah untuk meramaikan dunia ini. Tapi kalau setelah tamat maunya
menjadi pedagang sepatu, pedagang ampera, pedagang berondolan sawit, itu juga
pilihan saudara-saudara…
Saya
lebih bangga kalau mantan mahasiswa saya menjadi juragan ayam potong, juragan
kain, juragan odong-odong, juragan ya digaris bawahi juragan. Dari pada mereka
menjadi wargad (wartawan gadungan), wartawan caro (itu lho… yang mau meliput
berita kalau ada amplopnya), wartawan bodrek (ini saya tidak tau artinya) atau
WTS (wartawan tanpa surat kabar)….. Eiiit… kalau dengan istilah yang terakhir
ini saya tidak setuju. Karena saya sendiri pernah menjadi WTS, bahkan
pemimpinnya WTS. Soalnya saya bekerja di mediaonline, tentu tidak menerbitkan surat kabar
kan? Huehuehue…. wartawan TV dan radio juga tanpa surat kabar lho….
Nah,
kalau mau bekerja sesuai bidangnya tentu harus siap mental. Siap kompetensi
keilmuan. Siap menguasai teknologi komunikasi terkini. Siap disuruh menulis
berita, rilis, script. Siap diajak bicara di depan orang ramai. Soalnya sarjana
komunikasi dan mau masuk bidang komunikasi, tentu harus siap bersaing dengan
sarjana bidang lain yang punya pilihan berkarir di bidang komunikasi. Ya,
seperti saya dulu, sarjana pertanian yang memilih berkarir menjadi wartawan. Sebab
di Republik Blakblakan pilihan karir tidak ditentukan asal usul. Kecuali
menjadi hakim, pengacara, dokter dan sejenisnya.
Tapi
karib saya Prof Bedjo Kampretto sudah menyiapkan draft usulan ke parlemen
Republik Blakblakan agar karir hakim, pengacara dan dokter boleh di isi oleh
lulusan apa pun. Menjadi pengacara dan hakim itu mudah kok, asal bisa bersilat
lidah dan mengarang kasus. Karib saya itu usul agar sarjana komunikasi,
khususnya bidang kehumasan, yang sudah mengikuti kuliah retorika dan public speaking boleh menjadi pengacara. Sarjana
komunikasi khususnya jurnalistik boleh menjadi dokter, karena sudah terbiasa
menyuntikkan tinta ke printer. Jarumnya sama, caranya sama. Hanya anatomibody-nya
saja yang berbeda.
Ide
ngawur karib saya itu bukan tanpa alasan. Dia kecewa banyak sekali makelar
kasus di negerinya. Lha vonis mati bandar narkoba saja bisa ditawar-tawar kok.
Vonis koruptor bisa lebih rendah dari vonis pencuri sendal jepit kok. Kata
sahabat saya, pengacara muda di Republik Indonesia: “Yang benar katakan benar
yang salah katakan benar” huhuhuhu…. Ditambah banyaknya dokter yang lebih
mementingkan fulus daripada kemanusiaan. Sampai ibu-ibu miskin yang belum bisa
membayar ongkos “turun mesin”, bayinya disandera. Berobat tanpa DP ditolak
rumah sakit. Aihh, tak ada bedanya ke rumah sakit dengan ke dealer mobil…
Maka
siap-siaplah sarjana komunikasi yang punya banyak pilihan… Siapa tau draft
karib saya tadi disetujui parlemen Republik Blakblakan… ^_^
No comments
Post a Comment