Nostalgia Tanah Kelahiran
Sewindu sudah lamanya
waktu
Tinggalkan tanah
kelahiranku
Rinduku tebal kasih
yang kekal
Detik ke detik
bertambah tebal
Pagi yang kutelusuri
riuh tak bernyanyi
Malam yang aku jalani
sepi tak berarti
Saat kereta mulai
berjalan
Rinduku tebal tak
tertahankan
.....
.....
Cukup sampai bait itu, lirik lagu “Rindu Tebal” Iwan Fals yang
mewakili kerinduan saya pada tanah kelahiran. Memang sudah sewindu saya tidak pulang, mengunjungi saudara dan kerabat. Juga teman-teman semasa SMA. Terakhir ke sana pada medio 2006 lalu, saat menghadiri pernikahan
adik bungsu. Mafhum saja, hingga kini saya menetap di Pekanbaru bersama keluarga
kecil. Kedua orangtua pun, sejak pertengahan 1980-an juga memutuskan untuk
menetap di Riau. Menjadi warga Kuantan Singingi, bahkan sejak belum dimekarkan
dari Kabupaten Indragiri Hulu. Maka, perjalanan ke tanah kelahiran tak lebih
dari sebuah nostalgia. Menapaki jejak masa lalu, menziarahi para pendahulu.
Kereta Matarmaja belakangan ini semakin populer, sehingga
teramat sulit mendapatkan tiket. Setidaknya kita harus booking online dulu dua
minggu sebelumnya, itu pun hanya sisa beberapa kursi. Bukan hanya karena harganya yang
murah (Rp 65 ribu), tetapi kereta ekonomi bersubsidi itu menjadi andalan para backpacker
dan pendaki gunung yang hendak bertualang ke Jawa Timur. Apalagi setelah film “5
cm” ikut mempopulerkan Matarmaja, maka kereta berkelir orange itu bak
selebriti dunia transportasi. Tak heran kalau dalam setiap gerbong pasti terdapat penumpang
menggendong carrier. Bukan hanya backpacker lokal, tapi juga mancanegara.
Selasa (2/9/2014) sore itu pun, saya masuk ke dalam Gerbong 8
No. 22 A. Meski kelas ekonomi, suasananya jauh berbeda dengan beberapa tahun
lalu. Tanpa riuh pedagang asongan dan penumpang tanpa kursi. Reformasi manajemen
yang dilakukan Ignasius Jonan menjadikan kereta api sebagai angkutan yang
tertib dan nyaman. Pada pukul 15.35 kereta mulai merangkak pelan-pelan, setelah
peluit panjang memecah kesunyian peron stasiun. Terlambat 20 menit dari jadwal
semula, tapi masih wajar kalau dibanding keterlambatan pesawat terbang yang
bisa berkali lipat.
Saya menyukai perjalanan kereta api, karena sepanjang jalur
yang dilalui dapat menikmati pemandangan indah. Hamparan sawah hijau baru
ditanam. Padi menguning siap panen yang memanjakan senja. Para petani yang mengabdikan
diri untuk memenuhi kebutuhan beras rakyat Indonesia. Meskipun hasilnya hanya cukup
memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, mereka tetap setia menanam di tengah
ancaman pangan impor dan politisasi beras yang kadang mengorbankan bangsa sendiri.
Ah sudahlah, lebih baik menikmati perjalanan panjang
hampir 13 jam. Mendengarkan irama balada Franky dan Jane Sahilatua. Sesekali terganggu suara peluit kereta, dengkur penumpang dan deru lokomotif. Banyak
pengalaman sepanjang perjalanan, tentang tingkah manusia, tapi tidak menarik untuk
diceritakan di sini. Biarlah berlalu bersama kereta yang terus berjalan menuju
ke timur.
Mbah di depan rumah dengan view sawah |
Dusun Butun
Subuh baru saja berlalu, ketika saya sampai di depan pintu
rumah nenek. Rumah yang antara tahun 1995-1998 lalu saya tinggali untuk menimba ilmu
di SMAN 1 Talun. Masih seperti dulu. Tak ada perubahan berarti. Warna catnya
masih sama, yang dulu juga, namun terlihat lebih kusam. Rumah besar itu kini
sepi, hanya ditinggali nenek dan seorang paman. Terlebih setelah kakek meninggal
lebih sewindu lalu. Diikuti paman bungsu yang berpulang karena kecelakaan
lalu lintas. Maka kesunyian pun menyapa pada pagi buta.
Rumah itu berada persis di depan hamparan sawah yang
membentang sejauh hampir dua kilometer. Saat saya ke sana masih hijau dan
menyejukkan mata. Di rumah itu, biasanya saya betah berlama-lama duduk di
beranda. Memandangi bentang alam yang indah. Melihat petani hilir mudik. Apalagi
kalau sore, daun-daun padi yang tersaput cahaya senja menjadi seperti sebuah
lukisan. Hawa dingin yang terbawa angin dari sawah menyajikan kedamaian
khas pedesaan.
Rumah mbah (kiri) dilihat dari sawah |
Dusun Butun, secara geografis berada di Desa Butun, Kecamatan
Gandusari, Kabupaten Blitar. Dusun kecil itu berada di ujung kaki sebelah
selatan Gunung Kelud, yang meletus Februari 2014 lalu. Tapi karena
arah anginnya menuju barat, dusun asri itu tidak terkena dampaknya. Hanya abu
tipis yang seketika hilang ditiup angin. Tak ada jejak letusan. Juga nyaris tak
ada jejak perubahan seperti sewindu sebelumnya. Saya masih bisa menandai perumahan,
jalan dan jembatan, seperti dulu. Hanya penduduknya yang berubah karena bertambahnya usia. Selebihnya masih sama.
Saya betah berlama-lama di rumah. Tentunya sambil menikmati
semilir angin dari persawahan. Sambil minum kopi lokal, mencecap suasana yang
jarang saya temui. Perpaduan sejuknya pedesaan dan hangatnya sikap kekeluargaan
penduduknya. Dalam kesederhanaan, mereka hidup tentram dan damai. Bertani padi
atau palawija. Sebagian membudidayakan ikan. Mulai ikan konsumsi hingga ikan
hias jenis Koi. Bahkan Koi asal Blitar paling terkenal di Indonesia. Corak
warnanya indah, harganya relatif murah. Tak heran kalau seorang sahabat yang kini menjadi peternak Koi sukses, bercerita sering mengirim ikan hias
asal Jepang tersebut ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua.
Jalan menuju TPU |
Selain bernostalgia dengan keluarga dan sahabat lama, saya
juga menyempatkan diri untuk berziarah. Mengirim doa-doa sederhana di pemakaman
desa yang berada di tengah sawah. Melewati jalan tanah yang dipagari
pohon-pohon asam besar di kiri kanannya. Di pemakaman itu, bersemayam jasad
almarhum buyut, kakek, nenek, abang (meninggal saat balita), paman dan sebagian
keluarga. Maka senja itu, saya menziarahi sejarah dan silsilah. Di antara harum
kamboja dan kapuk yang beterbangan dari pohon randu.
Wlingi adalah kota kecamatan yang dekat dengan tanah
kelahiran saya. Jaraknya hampir sama dengan Kecamatan Gandusari yang sebenarnya
menjadi kecamatan Desa Butun. Tapi saya lebih suka ke Wlingi, karena menjadi
jalur penghubung Blitar dengan Malang, sehingga lebih ramai. Saat saya berkunjung
ke sana, kebetulan sedang ada pameran pembangunan dan pameran lingkungan hidup
di taman kota yang sejuk dan asri. Dan kebetulan juga, di sana ada stand SMAN 1
Talun, almamater saya dulu.
Bersama teman-teman SMA |
Selama pulang, saya beberapa kali mengunjungi Wlingi, untuk
suatu keperluan, atau sekadar lewat. Kota kecil itu dulu menjadi salah satu tempat
bermain saya. Di kota itu
juga saya kemudian bernostalgia dengan beberapa teman SMA yang kebetulan masih
berada di sana. Sebuah pertemuan untuk menyambung persahabatan, sebab setelah
tamat SMA tahun 1998, baru kali ini saya kembali berkumpul bersama mereka.
Pada suatu malam, kami sepakat untuk bertemu di rumah keluarga
Heri Wibowo dan Ani di Gurit, Wlingi. Keduanya adalah teman kami waktu SMA.
Di sana beberapa teman sudah menunggu, seperti Agus Kliwir, Ariade dan Bambang
Darmawan. Setelah bertukar cerita dan bercanda ria, kami segera meluncur ke kafe
Mr. Kreebo di kawasan Beru, Wlingi. Di kafe yang terletak di jalan raya Blitar-Malang itu,
kami kemudian mengundang sejumlah teman lainnya yang kebetulan tempat
tinggalnya tidak jauh. Datanglah M Agus Purwantoro, Didik, dan
Edy Ardianto.
Taman kota di Wlingi |
Alun-alun Kota Blitar |
Kota Blitar
Pulang ke tanah kelahiran, tidak lengkap kalau tidak main ke
Kota Blitar. Kota di selatan Pulau Jawa yang terkenal karena sebagai lokasi peristirahatan terakhir tokoh Proklamator Kemerdekaan, Bung Karno. Saya sengaja
menuju kota itu menggunakan angkutan umum. Seperti dulu, saya menunggu bus
Bagong yang legendaris. Bus trayek Malang-Blitar PP yang terkenal suka
kebut-kebutan. Sopir bus tiga perempat berbodi agak tambun itu, masih juga
seperti dulu: ugal-ugalan . Di jalanan mereka seperti sopir Medan, tapi yang
ini malah tanpa huruf ‘M’. Tapi itulah yang bikin tenar bus Bagong. Raja
jalanan, bus favorit saat SMA dulu.
Bus Bagong |
Sebagian koleksi perpustakaan Bung Karno |
Akhir perjalanan saya di Kota Blitar tentunya ke komplek
Makam Bung Karno yang berada di Jl. Ir. Soekarno, Kelurahan Bendogerit,
Kecamatan Sananwetan, sekitar 2,5 km sebelah utara pusat Kota Blitar. Tentunya
saya berjalan kaki ke sana, sambil menikmati landmark kota di tengah teriknya
cuaca. Di kompleks pemakaman tersebut terdapat perpustakaan dua lantai yang
cukup megah dan modern, ornamen relief dan patung, galeri lukisan dan foto
bernuansa Bung Karno, dan tentunya makam sang Proklamator. Sementara di sisi
kompleks pemakanan, berjejer ratusan pedagang kerajinan dan oleh-oleh khas
Blitar.
Kuliner
Tak lengkap mengunjungi Kota Blitar kalau tidak menikmati
kulinernya yang khas. Apalagi kalau bukan nasi pecel. Di Blitar saya menikmati
aneka pecel dan minuman tradisional. Pertama adalah pecel tumpang. Warung sederhana penjual pecel tumpang ini saya temui di gang kecil dan sepi di tepi rel kereta antara Pasar Legi Blitar
dengan stasiun. Saya lupa namanya, tapi di kanan kiri gang terdapat banyak
penjual bunga dan tanaman hias. Menelusuri gang itu seperti
melewati perkebunan di tengah kota, bersih dan indah.
Kuliner Kota Blitar |
Warung makan pecel tumpang itu sederhana, tapai ramai
pengunjung. Berdasarkan pengalaman, warung yang ramai biasanya makanannya enak
dan murah. Langkah kaki saya pun otomatis berbelok ke kanan, menuju
salah satu pintu warung. Pecel tumpang menjadi pilihan. Nasi pecel berisi kacang
panjang, toge, bayam, mentimun dan kemangi disiram dengan sambel tumpang, yaitu
sambal berbahan olahan tempe. Lauknya peyek, tempe dan entah gorengan apa lagi.
Makanan sederhana yang sehat dan nikmat. Nasi pecel tumpang plus gorengan dan
segelas teh manis hanya Rp 7.500.
Berikutnya warung pecel Mbok Bari yang terletak di tepi jalan
utama dekat kompleks makam Bung Karno. Warung pecel itu lumayan terkenal dan ramai dikunjungi wisatawan. Warung itu juga menyajikan nasi ramas
dengan beragam lauk-pauk. Tapi misi kuliner saya tetap satu: nasi pecel. Sambel
pecel di warung ini lumayan ajib, berbeda dengan sambel pecel lainnya. Sayuran
yang digunakan hampir sama, cuma ada tambahan kecipir. Tak heran kalau warung
ini termasuk legendaris karena berdiri sejak tahun 1964. Di sini harga nasi
pecel plus tahu tempe Rp 10.000.
Nasi pecel berikutnya adalah pecel pincuk, yang saya temukan
suatu pagi di Desa Jajar, tepi jalan raya yang menghubungkan
Talun-Gandusari. Komposisi pecel pincuk tidak jauh berbeda dengan pecel
lainnya, hanya penyajiannya yang berbeda, yaitu beralaskan daun pisang yang
dipincuk alias dilipat menjadi kerucut. Karena berada di desa, harga pecel pincuk plus
dawet beras (dawet campur bubur beras) cukup murah, hanya Rp 7.000.
Kuliner Kota Blitar |
Selain nasi pecel, saya tidak melewatkan sate kambing dan
becek di Pasar Wlingi. Warung sate di sisi utara pasar tersebut menjadi
langganan kedua orangtua kalau kebetulan pulang ke Blitar. Becek adalah sebutan
untuk gulai kambing yang dicampur dengan nasi. Rasanya gurih, apalagi kalau dinikmati
dengan sate kambing muda yang dibakar dengan bumbu khasnya. Sepiring becek plus
10 tusuk sate dan teh manis saya tebus dengan harga Rp 31.000.
Pulang ke tanah kelahiran belum sah kalau tidak menikmati
aneka masakan uceng di Warung Sukaria, Babadan, Wlingi. Warung ini cukup
terkenal dan sering terlihat di acara wisata dan kuliner berbagai stasiun
televisi nasional. Dinding warung yang cukup luas itu, dihiasi foto beberapa
artis ibukota yang pernah berkunjung. Tapi saya tak hafal namanya satu per satu. Hal itu membuktikan
bahwa warung yang berada di pinggir kampung tersebut cukup tersohor di kalangan
pecinta kuliner. Menu andalannya adalah uceng, ikan endemik yang hanya ada di
beberapa sungai di sekitar kawasan Wlingi. Terutama kali Lekso yang membelah
kota Wlingi menjadi timur dan barat. Di warung itu, uceng diolah menjadi sayur,
lalapan dan peyek. Harganya juga lumayan bersahabat, seporsi sayur uceng, peyek
uceng dan udang, serta air mineral Rp 25.000.
Setelah makanan, ada beberapa minuman yang bisa dibilang
asli dari Blitar. Selain dawet beras, minuman yang cukup terkenal dan bikin
kangen adalah dawet srabi, yaitu es dawet alias cendol yang dicampur dengan kue
srabi. Harga semangkuk dawet srabi rata-rata Rp 2.500. Selain itu juga ada es
pleret, yaitu es cendol bercampur bola-bola kecil dari tepung yang disebut
pleret. Penjual es pleret banyak dijumpai di sekitar alun-alun Kota Blitar.
Harga satu gelas umumnya Rp 2.500. Minuman lainnya yang saya jumpai es aneka
jamu, mulai beras kencur, kunyit asem, dan sebagainya. Penjual es jamu banyak dijumpai di Kota Blitar dengan harga jual per gelas rata-rata juga Rp.
2.500.
Itu hanya sebagian kecil dari kuliner khas kota itu yang
sempat kembali saya nikmati. Masih banyak kuliner lain yang
tidak kalah nikmat, seperti rujak uleg, rawon, soto, dan sebagainya. Ada juga
jajanan khas, seperti opak gambir, kerupuk gadung, wajik kletik dan lain-lain.
Karena keterbatasan waktu saya tidak sempat mengeksplorasi semua kuliner tanah
kelahiran. Selain tentunya karena faktor W tubuh yang semakin tidak bersahabat setelah
beberapa bulan tidak melakukan pendakian gunung.
1 comment
ajiiib tulisanmu mas :)
Post a Comment